Pernikahan Wisata

PERNIKAHAN WISATA

BAB I
PENDAHULUAN

Perkawinan dan perceraian merupakan dua masalah sosial yang tidak hanya mmiliki aspek sosiologis, tetapi juga terkait dengan konteks budaya dan pemahaman agama. Setiap masyarakat mendefinisikan makna perkawinan dan perceraian secara berbeda-beda. Bagi sebagian besar masyarakat muslim, perkawinan dipersepsikan sebagai kewajiban sosial yang harus dilakukan oleh setiap manusia, laki-laki dan perempuan, agar terhindar dari hidup yang melahirkan mudharat. Menjalani perkawinan, bagi setiap muslim, adalah dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan yang nista, yakni zina. Oleh karena itu, perkawinan merupakan salah satu aspek perlaksanaan ibadah.[1][1]
Jika suatu pernikahan dinilai sebagai salah satu aspek perlaksanaan ibadah, namun bgaimana jika pernikahan disalah gunakan oleh seorang muslim, dimana sebuah pernikahan sudah tidak dianggap sebagai suatu hal yang saklar namun sebagai ladang mencari sebuah keuntungan, kenapa saya mengatakan demikian karena fenomena yang terjadi pada saat ini seperti itu, dimana pernikahan dilakukan hanya untuk mencari materi semata untuk memenuhi kebutuhan perekonomian seseorang.
Dalam kasus yang terjadi di negara kita yaitu seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang berasal dari luar negri yang berkunjung untuk berlibur namun pernikahan mereka dibatasi waktu, jika pria itu kembali ke negaranya maka ikatan pernikahan tersebut selesai karena waktu yang digunakan hanya sebatas ketika pria itu berlibur. Maka jika kita kembalikan kepada tujuan sebuah pernikahan hal ini sangat keluar dari konteks tujuan sebuah pernikahan pernikahan.
Maka, apakah boleh bagi seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, setelah itu dia menyinggahi barang sebentar dalam satu Minggu atau satu bulan, kemudian meninggalkannya, dan pergi merambah kenikmatan kedunia yang lain?
Atau hanya sekedar menggunakan perempuan itu, untuk tujuan menggunakan perempuan itu untuk tujuan tidak mendapatkan keturunan sehingga terlepasnya tanggung jawab?.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan Dalam Islam
Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar Nikah; kata itu berasal dari Bahasa Arab yaitu kata Nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam Bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.
Makan pernikahan dalam Islam dinamakan “ ZAWAJ” atau “NIKAH”. Zawaj artinya pasangan dalam arti da makhluk dijadikan pasangan hidup. Dua diabungkan menjadi satu. Dipakai kata “Zaujun” berarti pasangan yang tidak dapat dipisahkan.jadi kata nikah artinya yaitu akad nikah yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam dimana terdapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan pikiran dari sikap yang menjeruuskan dan membahayakan.[2][2]
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Agama Islam, Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya.
B.     Tujuan Pernikahan
Adapun tujuan pernikahan yang pertama adalah menjaga manusia dari penyelewengan melakukuan sesuatu yang tdak diinginkan atau yang merugikan diri pribadi atau masyarakat seperti perzinahan yang pada umumnya merugikan masyarakat.
Kedua, tujuan pernikahan untuk melestarikan keturunan dan mengabdikan eksistensi manusia di atas permukaan bumi.
Ketiga,untuk memberi arti bagi setiap jenis, bahwa ia adalah pasangan bagi jenis lawannya. Hal ini dibuktikan dengan ciptaan Allah bagi Hawa dan Aadam dihadirkan di dalam dunia.[3][3]
C.     Pernikahan Wisata (Al-Misyar)
Pernikahan seperti ini telah terjadi sebuah fenmena yang serius dalam beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini, disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal usul pernikahan ini telah ada pada orang-orang terdahulu, mereka menamai dengan pernikahan Misyar, namun pada masa saat ini dinamakan dengan pernikahan Wisata.
Pernikahan Wisata adalah pengaruh dari semakin cepat dan mudahnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia ini, pada hakikatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suami, dan dari hak nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya. Dia harus rela tinggal di rumah dengan orang tuanya.[4][4]
Menurut M.Nabil Kadhim dalam bukunya  yang berjudul Pintar Nikah , Pernikahan Misyar adalah Pernikahan yg dimana pihak perempuan mendapatkan sebagian haknya saja yg diatur pada saat akad nikah, seperti tidak mendapatkan tempat tinggal,nafkah dan kelangsungan untuk tinggal bersamanya. Selanjutnya hal ini tentu menimbulkan ketidak adilan antara para istri. Biasanya pernikahan seperti ini dilakukan oleh laki-laki yang sedang musafir dan perempuan yang sudah tua, namun belum menikah, sedangkan ia sudah putus harapan untuk melangsungkn bentuk pernikahan yg normal. Biasanya pernikahan ini sudah memenuhi rukun nikah yaitu akad, keridho’an wali, dua orang saksi dan mahar.
Biasanya pernikahan seperti ini dilakukan oleh para pedagang, tentanra,penuntut ilmu  yang berada di negeri asing untuk menjaga dirinya dari kerusakan. namun saja perlu diwaspadai bahwa dalam bentuk pernikahan ini kurang penunaian hak disebabkan karena adanya kelemahan dalam menunaikan hak dan kewajiban, disamping memberikan nafkah kepada anak-anak dikemudian hari ketika jalinan pernikahan tersebut membuahkan anak.[5][5]
Sebagian pelancong muslim mancanegara punya trik menyiasati larangan berzina. Sebelum menyalurkan hasrat seksual, mereka menikahi pasangannya, dengan memenuhi syarat-rukun nikah. Ada wali, dua saksi, mas kawin sesuai negosiasi, plus prosesi ijab kabul.
Perempuannya lajang tak bersuami. Bisa janda, tapi kebanyakan pelancong memesan perawan. Bunyi ijab kabul mirip nikah biasa. Tanpa penyebutan batas waktu seperti nikah mut'ah (nikah yang diharamkan kalangan Sunni), mayoritas muslim Indonesia.
Pasangan pun merasa aman dan nyaman berasyik masyuk, karena berkeyakinan sebagai suami-istri sah. Bedanya dengan nikah biasa, perkawinan ini tidak berumur panjang. Bisa sebulan, sepekan, kadang cuma dua hari. Begitu jadwal liburan berakhir, pasangan pun bercerai.
Agendanya memang sekadar pemuasan birahi. Bila si wanita melahirkan anak, tak ada lagi urusan dengan sang pria. Akad nikah dilakukan secara lisan, tanpa dicatat Kantor Urusan Agama. Perceraian pun diselesaikan secara lisan, tanpa pernyataan di depan pengadilan agama.[6][6]
Praktek ini sudah lama berlangsung di Indonesia. Salah satu daerah subur nikah model ini adalah kawasan sejuk Puncak, Bogor-Cianjur, Jawa Barat, Bali,dimana kawasan itu mmayoritas kebanyakan turis,  Pelancongnya kebanyakan asal Timur Tengah.
Investigasi Gatra tahun 2006 di Puncak mengungkapkan, kesediaan pihak perempuan dinikahi model ini cenderung didorong motivasi finansial. Mahar yang diberikan berkisar Rp 2 juta sampai Rp 10 juta. Ada yang kawin hanya dua hari, dengan "tarif" Rp 2 juta.
Bila beruntung, selain terima mahar, si wanita juga diberi nafkah harian Rp 500.000 sehari. Tapi, mas kawin itu bukan milik penuh si istri, sebagaimana ketentuan lazim tentang mahar. Pihak perempuan hanya memperoleh separuh. Sisanya dibagi pada calo, saksi, dan wali nikah.[7][7]
Perkawinan adalah sebuah tanggung jawab yang besar, Allah SWT menurunkan perintah kawin untuk membangun dunia, mengembang biakkan keturunan dan untuk perbaikan alam. Anak adalah tanggung jawab yang besar, mereka membutuhkan sandang, pangan ,dan pendidikan, supaya mereka bisa bermanfaat bagi bangsa, negara dan kemudian dimasa depan.
Maka, apakah boleh bagi seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, setelah itu dia menyinggahi barang sebentar dalam satu Minggu atau satu bulan, kemudian meninggalkannya, dan pergi merambah kenikmatan kedunia yang lain?Atau hanya sekedar menggunakan perempuan itu, untuk tujuan menggunakan perempuan itu untuk tujuan tidak mendapatkan keturunan sehingga terlepasnya tanggung jawab?.
D.    Hukum Nikah Wisata Menurut Ulama
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan Muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata. 
      "Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah misyar hukumnya haram," demikian dibacakan oleh Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni`am Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI.

Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja.
Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi mengenai keputusan tersebut.
"Kita akan sosialisasikan ke daerah-daerah dimana ini terjadi," kata Ma`ruf.
Sosialisasi akan dilakukan ke daerah karena Ma`ruf menyebut praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi namun dibawah tangan dan umum dilakukan di beberapa daerah tertentu.

Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar.
Maka, kata Sekretaris Sidang Komisi, Dr. Asrorun Ni'am Sholeh, nikah wisata disepakati untuk didefinisikan sebagai "pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun diniatkan untuk sementara". Nikah dengan definisi itu, dalam literatur fikih, dikategorikan sebagai nikah muaqqat dan hukumnya haram.
Fatwa ini tidak memasuki pembahasan absah-tidaknya akad nikah. Sah atau batal, dalam ushul fiqih, masuk wilayah "hukum wadh'i". Fatwa ini melampaui isu sah-batal, melainkan masuk isu halal-haram, yang dalam ushul fiqih menjadi bagian "hukum taklifiy".
Nikah wisata dikatakan haram bukan karena akadnya sah atau batal, kata Ni'am, melainkan karena implikasi dharar (mudarat). Mirip fatwa nikah usia dini dan nikah siri, yang dari segi hukum wadh'i, akadnya sah, tapi dari segi hukum taklify nikah tersebut bisa haram jika menimbulkan dharar.
E.     Analisis Tentang Nikah Misyar /Wisata
Pernikahan wisata karena realita, dandan terjepitnya kondisa pada sebagian kelompok masyarakat , memang pernikahan ini mencukupi rukun akad yang disyari’atkan, seperti : Ijab,Qabul, Saksi dan Wali. Pernikahan ini adalah pernikahan yang sah, hanya saja dalam pernikahan ini,laki-laki mensyaratkan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tanggung jawab sebagai suami, karena mereka yang melakukan dan menerima perjanjian tersebut sudah endapatkan uang yang diterima oleh pihak perempuan seperti mahar yang sudah ditentukan dari awal.
Maka seharusnya suatu pernikahan alangkan baiknya kembali kepada hakikat dan tujua pernikahan itu sendri yaitu gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Hal ini ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Dalam pasal 1 disebutkan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut pandangan  pandangan Imam Al-Syatibi, ahli ushul fikih, yang luas mengupas konsep maqashid al-syariah. Dikatakan Syatibi, maqashid syariah ada dua, yaitu maqashid ashliyah (tujuan pokok) dan maqashid tabi'iyah (tujuan ikutan). Tujuan pokok pernikahan untuk menghalalkan persetubuhan. Sedangkan tujuan ikutannya membentuk keluarga sakinah.
Nikah wisata, dikatakan, hanya memenuhi tujuan pokok, dan tidak mencapai tujuan ikutan. "Kata Syatibi, segala hal yang tidak sesuai maqashid syariah, baik ashliyah maupun tabi'iyah, jadi haram," kata peserta itu. Peserta lain memperkuat dengan pertimbangan akhlak. Dikatakan, nikah seperti ini tidak sepantasnya dibolehkan.

"Nikah bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi untuk membina keluarga. Nikah wisata bisa berdampak penelantaran,", kaedah "mencegah kerusakan harus didahulukan ketimbang melaksanakan kebaikan".
Pernikahan Wisata ini sangat menimbulkan mudharat khususnya untuk seorang wanita, jika ia mempunyai anak dalam pernikahan itu,maka dari manakah ia dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk anaknya jika bukan dari suami yang menikahinya.
.


KESIMPULAN

Pernikahan wisata atau misyar haram hukumnya karena dapat merusak keluarga dan dapat menimbulkan masalah dalam kewarganegaraan, karena jika seorang laki-laki yang berkunjung ke dalam empat negara dan disetiap negara ia memiliki seorrang istri maka akan terjadi suatu percampuran keturunan (ikhtilath nasab) yag dilarang oleh syari’at.
Pernikahan misyar (Wisata) dilaksanakan bukan dengan dasar untuk mencapai suatu tujuan dari sebuah pernikahan karena pernikahan itu hanya dilakukan untuk menghilangkan nilai perzinahan dalam tujuan pernikahan, namun hal tersebut tetap haram karena memiliki mudharat yang akan terjadi pada masa selanjutnya.
Dan pernikahan ini hanya memenuhi konsep maqashid al-syariah yang maqashid al-Asliyyah (tujuan pokok) namun bukan maqashid tabi'iyah.











DAFTAR PUSTAKA

Farida, Anik,dkk, Permpuan Dalam Sistem Perkawinan Dan Preceraian Di Berbagai Komunitas Dan Adat (Jakrta, Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta), 2007.
Fachruddin, Fuad,Moch Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, (Jakatra, Pedoman Ilmu Jaya ).
Syakir,  Fuad, Perkawinan Terlarang,(Jakarta,Cendekia Sentra Muslim),2002.
Nabil Muhammah Kazhim, Buku Pintar Sikah; Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, (solo :Samudera,2007).
Karni Asrori S. Karni, Majalah GATRA Nomor 39 Beredar Kamis, 5 Agustus 2010.







Comments

Popular posts from this blog

Makalah Mantiq : Ta'rif

Khutbah Jum'at : Keistimewaan Bulan Rajab

TTS English